Setelah
pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kewajaran kerja yang
ditunjukkan operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi misalnya bekerja tanpa
kesungguhan, sangat cepat seolah-olah diburu waktu, atau karena menjumpai
kesulitan-kesulitan seperti karena kondisi ruangan yang buruk. Sebab-sebab
seperti ini mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu singkat atau
terlalu panjangnya waktu penyelesaian.
Hal ini jelas tidak diinginkan karena waktu baku
yang dicari adalah waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara kerja yang baku yang diselesaikan
secara wajar. Jika pengukur mendapatkan harga rata-rata siklus perelemen yang
diketahui diselesaikan dengan kecepatan tidak wajar oleh operator, maka agar
harga rata-rata tersebut menjadi wajar, pengukur harus menormalkannya dengan
melakukan penyesuaian. Biasanya penyesuaian dilakukan dengan mengalikan waktu
siklus rata-rata atau waktu elemen rata-rata dengan suatu harga p yang disebut
faktor penyesuaian.
Beberapa
sistem untuk memberikan rating yang
umumnya diaplikasikan didalam aktivitas pengukuran kerja, yaitu:
1. Skill dan Effort Rating
Sekitar tahun
1916, Charles E. Bedaux memperkenalkan suatu sistem untuk pembayaran upah atau
pengendalian tenaga kerja. Sistem yang
diperkenalkan olehnya ini berdasarkan pengukuran kerja dan waktu baku yang ada yang
dinyatakan dengan angka “Bs”. Prosedur
pengukuran kerja yang dibuat oleh Bedaux meliputi juga menentukan rating terhadap skill dan usaha-usaha yang ditunjukkan oleh seorang operator. Dengan kata lain, yang harus dicapai oleh
seorang operator yang bekerja dengan kecepatan normal diharapkan akan mampu mencapai
angka 60 Bs per jam, dan pemberian intensif dilakukan pada tempo kerja
rata-rata sekita 70 sampai 85 Bs per jam. Sebelum Bedaux memperkenalkan
sistemnya, performance rating biasanya dilaksanakan dengan
jalan menganalisa langsung dari data waktu yang diperoleh dari pengukuran stop-watch, sehingga apabila seorang
operator bekerja dengan tempo yang cepat, maka waktu kerjanya akan tercatat
dicatat diatas waktu waktu rata-rata yang ada dan sebaliknya. Jelas bahwa sistem Bedaux ini akan
memperbaiki metode yang umum dipakai sebelumnya.
2.
Westing House System Rating
Westing House Company (1927)
juga ikut memperkenalkan sisitem yang dianggap lebih lengkap dibandingkan
dengan sistem yang dilaksanakan oleh Bedaux.
Disini selain kecakapan dan usaha yang telah dinyatakan oleh Bedaux
sebagai faktor yang mempengaruhi performance
manusia, maka Westing House
menambahkanlagi dengan kondisi kerja, dan keajegan (konsistensi) dari operator
didalam melakukan kerja. Untuk ini Westing House telah berhasil membuat
suatu tabel performance rating yang
berisikan nilai-nilai angka yang berdasrkan tingkatan yang ada untuk
masing-masing faktor tersebut. Untuk
menormalkan waktu yang ada maka hal ini dilakukan dengan jalan mengalikan waktu
yang diperoleh dari hasil pengukuran kerja dengan jumlah keempat rating faktor yang dipilih sesuai dengan
performance yang ditunjukkan oleh
operator.
3. Synthetic Rating
Synthetic rating adalah metoda untuk
mengevaluasi tempo kerja operator berdasarkan nilai waktu yang telah ditetapkan
telebih dahulu (predetermined time value). Prosedur yang dilakukan adalah
dengan melaksanakan pengukuran kerja seperti biasanya dan kemudian
membandingkan waktu yang diukur ini dengan waktu penyelesaian elemen kerja
sebelumnya sudah diketahui data waktunya.
Perbandingan ini akan merupakan indeks performance atau rating factor dari operator untuk melaksanakan
elemen kerja tersebut.
4. Performance Rating atau Speed Rating
Didalam
praktek pengukuran kerja maka metode penetapan rating performance kerja
operator adalah didasrkan pada satu faktor tunggal yaitu operator speed, space, atau tempo. Sistem
ini dikenal sebagai Performance Rating atau Speed Rating. Rating Factor ini umumnya dinyatakan
dalam persentase (%) atau angka desimal, dimana performance kerja normal akan sama dengan 100% atau 1.
Rating Factor pada dasarnya seperti yang
telah diuraikan diaplikasikan untuk menormalkan waktu kerja yang diperoleh
daridari pengukuran kerja akibat tempo atau kecepatan kerja operator yang
berubah-ubah.
Kelonggaran
diberikan untuk tiga hal yaitu untuk kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatique, dan hambatan-hambatan yang
tidak dapat dihindarkan. Ketiga faktor
tersebut akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Kelonggaran
untuk kebutuhan pribadi
Yang termasuk
kedalam kebutuhan pribadi disini adalah hal-hal seperti minum sekadarnya untuk
menghilangkan rasa haus, ke kamar kecil, bercakap-cakap dengan teman sekerja
sekadar untuk menghilangkan ketegangan dalam kerja. Besarnya kelonggaran yang
diberikan untuk kebutuhan pribadi seperti itu berbeda-beda dari satu pekerjaan
ke pekerjaan lainnya karena setiap pekerjaan mempunyai karakteristik
sendiri-sendiri dengan tuntutan yang berbeda-beda. Berdasarkan penelitian ternyata besarnya
kelonggaran ini bagi pekerja pria berbeda dengan pekerja wanita.
2. Kelonggaran
untuk menghilangkan fatique
Rasa lelah
tercerminn antara lain dari menurunnya hasil produksi baik jumlah maupun
kualitas. Jika rasa lelah telah datang dan pekerja harus bekerja untuk
menghasilkan performance normalnya,
maka usaha yang dikeluarkan pekerja lebih besar dari normal dan ini akan
menambah lelah. Bila hal ini terus
berlangsung maka anggota tubuh yang bersangkutan tidak akan dapat melakukan
kerja sama sekali walaupun diinginkan. Adapun hal-hal yang diperlukan pekerja
untuk menghilangkan lelah adalah melakukan peregangan otot, pergi keluar
ruangan untuk menghilangkan lelah dan lain sebagainya.
3. Kelonggaran
untuk hambatan-hambatan yang tak terhindarkan
Dalam
melaksanakan pekerjaannya, pekerja tidak akan lepas dari hambatan yang tidak dapat
dihindarkan karena berada diluar kekuasaan pekerja untuk mengendalikannya. Perhitungan kelonggaran untuk
hambatan-hambatan yang tak terhindarkan dilakukan dengan suatu teknik sampling
tersendiri karena besarnya hambatan untuk kejadian semacam ini sangat
bervariasi dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain bahkan satu stasiun kerja ke stasiun
kerja lain. Beberapa contoh keterlambatan yang tak dapat dihindarkan antara
lain: menerima petunjuk dari pengawas, melakukan penyesuaian mesin, mengasah
peralatan potong, dan lain sebagainya.
Referensi :
Sutalaksana, Iftikar. 1979. Teknik Tata Cara Kerja. Bandung :
Institut Teknologi Bandung .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar